Konsep Dasar Literasi

Pengertian Literasi

Secara tradisional, literasi dipandang sebagai kemampuan membaca dan menulis. Orang yang dapat dikatakan literat dalam pandangan ini adalah orang yang mampu membaca dan menulis atau bebas buta huruf. Pengertian literasi selanjutnya berkembang menjadi kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Sejalan dengan perjalan waktu, definisi literasi telah bergeser dari pengertian yang sempit menuju pengertian yang lebih luas mencakup berbagai bidang penting lainnya.

Pada masa perkembangan awal, literasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan bahasa dan gambar dalam bentuk yang kaya dan beragam untuk membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, melihat, menyajikan, dan berpikir kritis tentang ide-ide. Literasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan pembangunan pengetahuan sebelumnya, budaya, dan pengalaman untuk mengembangkan pengetahuan sebelumnya, budaya, dan pengalaman untuk mengembangkan pengetahuan baru dan pemahaman yang lebih dalam. Literasi berfungsi untuk menghubungkan individu dan masyarakat, serta merupakan alat penting bagi individu untuk tumbuh dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat yang demokratis.

Perkembangan kedua konsepsi literasi dicirikan oleh sejumlah pandangan yang menyatakan bahwa literasi berkaitan erat dengan situasi dan praktik sosial. Pandangan ini mendefinisikan literasi sebagai praktik sosial dan budaya timbang dipandang sebagai keyakinan budaya dan habitualnya. Pandangan ini lahir berdasarkan sudut pandang para ahli yang menafsirkan dan menghubungkan literasi dengan konteks dunia. Perubahan ini memainkan peran penting dalam proses pengembangan kemampuan literasi siswa dan pendekatan yang digunakan siswa untuk mempelajari berbagai bidang akademik.
Dalam generasi ketiga, pengertian literasi diperluas oleh semakin berkembang pesatnya teknologi informasi dan multimedia. Literasi dalam konteks ini telah diperluas ke dalam beberapa jenis elemen literasi, seperti visual, auditori, dan spasial daripada kata-kata yang tertulis ( The New London Group, 2005). Mills (2010) menyatakan bahwa kita telah mengalami pergeseran sejarah budaya teks cetak yang lebih luas, menuju satu titik di mana modus visual lebih menonjol atas bantuan teknologi baru. Terhadap hal ini, Bosmon (2012) memberikan sebuah contoh yakni bahwa Ensiklopedia Britannica yang telah dikenal dalam bentuk cetakan selama 244 tahun, kini telah berubah menjadi sebuah versi Online berbantuan komponen multimedia. Padahal di sisi lain, membaca dan menulis di internet dan melalui multimedia modalitas (hypertext) membutuhkan cara yang berbeda ketika berinteraksi dengan teks.

Dalam generasi keempat, literasi telah dipandang sebagai konstruksi sosial dan tidak pernah netral (Freire, 2005). Teks-teks yang di baca siswa baca telah diposisikan. Ini berarti bahwa teks yeng tulis seorang penulis telah dibentuk berdasarkan posisi mereka (di mana mereka berada dan di mana mereka berdiri serta bagaimana posisi ini memungkinkan mereka untuk melihat dan tidak melihat). Posisi seorang penulis meliputi banyak aspek, seperti keyakinan mereka, nilai-nilai, sikap, posisi sosial ( misalnya, usia, ras, kelas, dan etnis), serta pengalaman (misalnya, pendidikan, bahasa, dan perjalanan). Karena posisi penulis mungkin berbeda dari posisi pembaca, sangat penting bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan literasi kritis. Literasi krisis merupakan kemampuan untuk mengkritik teks berdasarkan sudut pandang yang berbeda, untuk menentang status quo, dan untuk mempertanyakan otoritas yang telah banyak diakui. Literasi kritis dianggap sebagai kemampuan yang sama pentingnya dengan kemampuan untuk memecahkan kode teks. Sejalan dengan kemudahan akses informasi, kemampuan siswa untuk mengkritik teks memiliki peran yang sangat penting, dan literasi kritis ini harus menjadi bagian dari setiap jalur literasi siswa (Martello, 2002).
Istilah literasi dalam generasi kelima dikenal pula dengan istilah multiliterasi. Istilah multiliterasi dalam buku ini mengandung pengertian sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi, dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun teks inovatif, simbol, dan multimedia. Dalam pandangan multiliterasi, siswa perlu menjadi ahli dalam memahami dan menggunakan berbagai bentuk teks, media, dan sistem simbol untuk memaksimalkan potensi belajar mereka, mengikuti perubahan teknologi, dan secara aktif berpartisipasi dalam komunitas global. Dengan demikian, pembelajaran literasi ditujukan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam literasi kritis, literasi visual, literasi media, literasi teknologi, literasi lintas kurikulum (IPS, matematika, sains, seni, dan mata pelajaran lainnya), serta literasi dalam bahasa lain.

Dalam Pandangan Cope dan Kalantzis (2005), literasi meruoakan elemen terpenting dalam proyek pendidikan modern. Bertemali dengan hal tersebut, minimalnya tiga alasan mengapa guru harus mengubah pandangannya tentang konsep pedagogi literasi. Pengubahan tersebut harus, dilakukan atas pandangan pedagogi literasi selama ini, yakni hanya terbatas pada upaya pengembangan kemampuan membaca dan menulis siswa di sekolah, menjadi pandangan yang lebih luas, lalu dikenal dengan istilah multiterasi. Pengubahan cara pandang ini menjadi sangat penting dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam era globalisasi saat ini dan masa yang akan datang.

Alasan yang pertama adalah literasi merupakan desain transformasi yang sangat penting. Literasi merupakan upaya pengungkapan makna yang terdapat dalam gambaran desain makna yang telah ada, serta upaya menghasilkan makna dengan jalan menambah sesuatu sebagai hasil pemikiran kita sendiri pada desain yang telah ada tersebut.

Alasan kedua adalah literasi dalam kondisi alamiahnya sudah bersifat multimodal. Hal ini dikarenakan literasi terbentang dari layar komputer multimedia hingga supermarket, yang semakin menunjukkan bahwa teks telah disajikan secara beragam dan dinamis baik dalam bentuk suara, visual, spasial, maupun gestur.

Alasan ketiga adalah desain metabahasa telah melahirkan variasi bentuk makna dalam hubungannya dengan variasi fungsi makna. Tata bahasa telah digunakan dalam bentuk yang berbeda untuk tujuan yang berbeda. Tata bahasa sendiri tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai aturan bahasa tulis, melainkan lebih luas sebagai aturan penggunaan bahasa dalam lingkup yang sangat luas dengan melibatkan media penyampai makna yang sangat bervariasi. Dengan demikian, hampir tidak ada tata bahasa yang dapat ditafsirkan secara jelas kebenaran dan kesalahannya. Penafsiran makna atas tata bahasa yang luas ini akan sangat bergantung pada usia, gender, wilayah, latar belakang etnis, kelas sosial, pekerjaan, dan sebagainya.

Sorce :
Yunus Abidin, Tita Mulyati dan Hana Yunansah. 2018. Pembelajaran Literasi. Cetakan Kedua. Jakarta : Bumi Aksara.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Penggunaan Delicious, Yummy, Dan Tasty Dalam Kalimat Bahasa Inggris

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN STUDENT CENTERED LEARNING (SCL) DAN TEACHER CENTERED LEARNING (TCL)

Pengertian Seni Aliran Dekoratif